Sabtu, 17 November 2012

KERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN


MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN  PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN*

Oleh : Noor Rochman**

Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih jelas di ingatan kita berbagai kasus kekerasan terjadi di sepanjang tahun ini antara lain kasus kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.
Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan atau bullying di sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan “menegakkan disiplin” di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antarpelajar yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela “teman” atau “membela sekolahnya”. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa  dari sekolah atau “gank” yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar.
 Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang dodominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”.
Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas.

Riwayat Singkat Bourdieu
Pierre-Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.
Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002.

Konsep Dasar Bourdieu
Bourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah.
1.    Modal
Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.
2.    Kelas
Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan.
3.    Habitus
Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman.
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A Wattimena: 2012).
Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan.
4.    Kekerasan dan Kekuasaan
Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.

Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik
Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan Bourdieu dengan habitus.
Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu:
            … budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik –gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut.

Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut- proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna.
Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese budaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser serta kegiatan sejenis lainnya.
Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke buaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikan corpus pengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggengan privilese mereka.
Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi” positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal.
Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu “dikenalkan” dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak “yang baik” menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur “dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.



Referensi :
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ diakses tanggal 13 Oktober 2012.

* Hasil resume buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ideo Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu.
** Staff Bidang Wacana HMI Cabang Semarang periode 1433-1434 H/ 2012-2013 M, Mahasiswa semester 1, Pend. IPS PPS UNNES.

Minggu, 10 Juni 2012

JURNAL PROJECT CITIZEN


PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MELALUI PRAKTIK BELAJAR KEWARGANEGARAAN (PROJECT CITIZEN)
(Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Semarang)

Oleh : Titik Haryati** dan Noor Rochman*

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kenyataannya masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Rumusan masalah “Apakah dengan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen), dapat ditingkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan?”. Tujuan penelitian: untuk mengetahui apakah dengan Project Citizen, dapat ditingkatkan kualitas pembelajaran PKn.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Semarang. Variabel penelitian: variabel input: kualitas pembelajaran sebelum menggunakan model Project Citizen; variabel proses: kegiatan penerapan model Project Citizen; dan variabel output: kualitas setelah menggunakan model pembelajaran Project Citizen. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi. Teknik analisis data dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif prosentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran Project Citizen dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PKn di Kelas VIII D SMP Negeri 3 Semarang. Kualitas pembelajaran PKn sebelum penggunaan model pembelajaran Project Citizen yaitu 52 % (kurang baik), namun setelah penggunaan model pembelajaran Project Citizen meningkat menjadi 81 % (sangat baik). Kesimpulan dengan menggunakan model pembelajaran Project Citizen dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di SMP Negeri 3 Semarang dengan rata-rata peningkatan kualitas pembelajaran sebesar 29 %. Saran untuk guru dan sekolah hendaknya menerapkan model pembelajaran Project Citizen dengan memperhatikan dan menyesuaikan kondisi, sarana prasarana dan fasilitas yang ada, terlebih lagi bagi kesulitan dalam meningkatkan antusiasme belajar siswa. Bagi para siswa dalam kegiatan belajar mengajar senantiasa aktif dan kritis agar proses belajar berjalan dengan kondusif dan bermakna sesuai dengan tujuan pembelajaran.

kata kunci : kualitas pembelajaran, pendidikan kewarganegaraan, project citizen

Latar Belakang
Sistem pendidikan nasional dituntut harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global (Undang-undang No. 20 Tahun 2003). Salah satu upaya yang segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Strategi peningkatan mutu pendidikan dalam proses pembelajaran merupakan upaya pembaharuan pendidikan yang dapat dilakukan oleh guru.
Kualitas pembelajaran merupakan faktor yang menentukan peningkatan mutu pendidikan. Kualitas pembelajaran dilihat pada intensitas keterkaitan sistemik dan sinergis antara perilaku pembelajaran guru, perilaku dan dampak belajar siswa, materi, media, dan iklim pembelajaran dalam menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pembelajaran harus diperhatikan dengan seksama karena merupakan salah satu faktor penunjang peningkatan mutu pendidikan.
Namun pada kenyataannya sekarang, salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini dapat terlihat dari pembelajaran PKn masih didominasi sistem konvensional. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tidak mengaitkan materi dengan realita kehidupan siswa, tidak kontekstual, lebih banyak memberikan kemampuan untuk menghapal bukan berpikir, kreatif, kritis dan analitis, bahkan menimbulkan sikap apatis siswa dan menganggap enteng dan kurang menarik. (Budimansyah dan Komalasari, 2008). Kondisi semacam ini tidak sejalan dengan semangat untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan  membawa pengaruh pada kualitas proses dan hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Atas dasar kenyataan tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan agar menjadi “subjek pembelajaran yang kuat” (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri: pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating). Salah satu model adaptif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) (Budimansyah, 2008). Dalam pembelajaran menggunakan Project Citizen siswa diajak untuk memecahkan masalah riil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini siswa belajar menemukan alternatif pemecahan masalah. Di samping itu, siswa juga mengembangkan proses penalaran dan klarifikasi nilai. Kemudian siswa mengembangkan usul kebijakan publik dan mengusulkan rencana tindakan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang timbul adalah “Apakah dengan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen), dapat ditingkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 3 Semarang?”.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen), dapat ditingkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 3 Semarang.

Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1) Penulis : Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman nyata dalam mengembangkan model Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) di SMP; 2) Bagi Guru PKn di SMP Negeri 3 Semarang : Sebagai masukan untuk mengadakan variasi model pembelajaran guna meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Tinjauan Pustaka
Tinjauan Kualitas Pembelajaran
Kualitas pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan sistemik dan sinergis guru, siswa, materi, iklim pembelajaran,  dan media  dalam menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan tuntutan kurikuler (Mariani, 2009: 6).  Jadi, kualitas pembelajaran adalah intensitas keterkaitan sistemik dan sinergis berbagai komponen yang terlibat di dalam pembelajaran, yaitu guru, siswa, materi, iklim atau situasi pembelajaran, media  yang diterapkan dalam menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal.
Secara kasat mata indikator kualitas pembelajaran dapat dilihat antara lain dari perilaku pembelajaran guru (teacher  behavior), perilaku dan dampak belajar siswa (student behavior), iklim pembelajaran (learning climate), materi pembelajaran, dan media pembelajaran. Masing-masing indikator tersebut secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut (Mariani, 2009: 6): 1) Dari sisi guru, kualitas dapat dilihat dari seberapa optimal guru  mampu memfasilitasi proses belajar siswa; 2) Dari sisi siswa,  kualitas dapat dilihat perilaku dan dampak belajar siswa yang mampu membuat siswa termotivasi, aktif, dan kreatif; 3) Dari aspek iklim pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan dan bermakna bagi siswa; 4) Dari sisi media belajar kualitas dapat dilihat dari seberapa efektif media belajar digunakan oleh guru untuk meningkatkan intensitas belajar siswa; 5) Sedangkan dari aspek materi, kualitas dapat dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasai siswa.

Tinjauan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)

Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) adalah suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Dengan adanya praktik, siswa diberikan latihan untuk belajar secara kontekstual (Depdiknas, 2003: 12). Sedangkan menurut Budimansyah (2009: 1) Project Citizen adalah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society).
Budimansyah (2008: 182) menegaskan bahwa landasan pemikiran Project Citizen terletak pada satu kerangka yang terdiri atas lima bagian tentang gagasan pendidikan dan politik.
Pertama, diperlukannya keterlibatan warga negara dalam kehidupan berwarga negara. Kedua, Inti dari Pendidikan Kewarganegaraan kaya akan nilai jika para siswa ikut ambil bagian secara aktif dalam kehidupan berwarga negara. Ketiga, dengan menggali masalah-masalah yang ada di komunitas mereka sendiri, maka mereka akan mengetahui prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan inti dari pengetahuan kewarganegaraan. Keempat, Project Citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh para siswa sekolah menengah atau usia-usia remaja pradini (berusia sekitar 10-15 tahun) yang mulai bergeser dari berpikir kongkrit menuju berpikir abstrak. Kelima, Project Citizen menganggap siswa sebagai sumber kewarganegaraan yang gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan pada masalah-masalah kebijakan publik
Menurut Budimansyah dan Karim Suryadi (2008: 25) strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, research-oriented learning,” yang dikemas dalam model “project” ala John Dewey. Dalam hal ini ditetapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi masalah kebijakan publik dalam masyarakat;
Dalam tahap ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan guru bersama siswa yaitu : mendiskusikan tujuan, mencari masalah, apa saja yang siswa ketahui, tentang masalah-masalah di masyarakat dan memberi tugas pekerjaan rumah tentang masalah-masalah yang ada di lingkungan masyarakat yang mereka anggap penting sesuai dengan kemampuan siswa.
Dalam mengerjakan pekerjaan rumah tersebut siswa diharapkan untuk mencari informasi tentang masalah yang akan dikaji dengan cara: a) mewawancarai orang tua atau keluarga, teman, tetangga, dan orang lain yang dianggap menguasai masalah yang dikaji, b) melalui sumber-sumber cetak seperti majalah, koran dan tabloid, c) melalui media elektronik seperti radio, TV dan internet. Semua informasi yang diperoleh harus dicatat untuk didiskusikan di kelas.
2.    Memilih suatu masalah untuk dikaji oleh kelas;
Sebelum memilih masalah yang akan dikaji hendaknya para siswa mengkaji terlebih dahulu pengetahuan yang telah mereka miliki tentang masalah di masyarakat, dengan langkah sebagai berikut : 1) Mengkaji masalah yang telah dikumpulkan; 2) Mengadakan pemilihan secara demokratis tentang masalah yang akan mereka kaji dengan cara memilih salah satu masalah yang telah ditulis di papan tulis; 3) Melakukan penelitian lanjutan tentang masalah yang terpilih untuk dikaji dengan mengumpulkan informasi.
 3.    Mengumpulkan informasi yang terkait pada masalah itu;Langkah-langkah dalam tahap ini adalah sebagai berikut : 1) Mengidentifikasi sumber-sumber informasi; 2) Tinjau ulang untuk memperoleh dan mendokumentasikan informasi; 3) Pengumpulan informasi.
4.    Mengembangkan portofolio kelas;
Pada tahap ini, siswa hendaknya telah menyelesaikan penelitian yang memadai untuk memulai membuat portofolio kelas, dengan langkah sebagai berikut : 1) Kelas dibagi dalam 4 kelompok dan setiap kelompok akan bertanggung jawab untuk membuat satu bagian portofolio; 2) Guru mengulas tugas-tugas rinciannya untuk portofolio. Tugas Masing-masing kelompok portofolio : Menjelaskan Masalah, Mengkaji Kebijakan alternatif, Mengusulkan kebijakan alternatif, Mengembangkan Rencana kerja; 3) Guru menjelaskan spesifikasi portofolio yakni terdapat bagian penayangan dan bagian dokumentasi pada setiap kelompok. Adapun gambaran portofolio tayangan dan portofolio dokumentasi adalah sebagai berikut :


Gambar 1. Portofolio Tayangan dan Portofolio Dokumentasi
Sumber : Budimansyah (2009: 75)
 
 
5.    Menyajikan portofolio (Show Case) di hadapan dewan juri;
Dalam menyelenggarakan gelar kasus (Show Case), guru sebagai pihak penyelenggara hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut : 1) Persiapan Show Case; 2) Pembukaan Show Case; 3) Penyajian oleh kelompok yang telah dibentuk disertai tanya-jawab oleh dewan juri; 4) Selingan; 5) Tanggapan audiens; 6) Pengumuman dewan juri.
Penyajian Portofolio (Show Case) dilaksanakan setelah kelas menyelesaikan portofolio tampilan maupun portofolio dokumentasi. Pelaksanaan dapat dilakukan pada akhir semester satu atau akhir semester dua bersamaan dengan kenaikan kelas, tergantung pada kondisi dan situasi sekolah.
6.    Melakukan refleksi pengalaman belajar.
Dalam kegiatan refleksi ini siswa diajak melakukan evaluasi tentang apa dan bagaimana mereka belajar. Tujuan refleksi adalah untuk belajar menghindari kesalahan di masa yang akan datang dan meningkatkan kinerja siswa.

Kelebihan dan keunggulan pembelajaran Project Citizen adalah sebagai berikut : 1) Memungkinkan siswa terhubung dengan peristiwa dan masalah dunia nyata; 2) Memungkinkan siswa mengintegrasikan berbagai konsep dan ide-ide terkait; 3) Mendorong siswa dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu; 4) Mendorong siswa belajar untuk bekerja sama dengan rekan-rekan dalam suatu kelompok; 5) Memungkinkan siswa mengevaluasi kemajuan mereka sendiri melalui penilaian diri; 6) Memungkinkan siswa berhubungan dengan kegiatan penilaian untuk kegiatan pembelajaran; 7) Menungkinkan siswa memanfaatkan dari keterlibatan orang tua dan anggota masyarakat lainnya. (CCE, 1998: 31).
Sedangkan menurut Fachrudin (2010, 131) kelemahan Project Citizen adalah sebagai berikut : 1) Waktu yang digunakan pada pelaksanaan model Project Citizen memerlukan waktu ideal 4-6 minggu; 2) Membutuhkan biaya; 3) Membutuhkan kesiapan guru. Jadi, kelemahan Project Citizen adalah waktu yang digunakan pada pelaksanaan model Project Citizen memerlukan waktu ideal 4-6 minggu, membutuhkan biaya dan kesiapan guru sehingga jika guru ingin menerapkan model ini maka dibutuhkan persiapan, perencanaan yang matang dan skill guru.

Penerapan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) dalam Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional (2005: 1180) adalah proses, cara, perbuatan menerapkan.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa penerapan itu adalah jalannya atau langkah-langkah atau cara menerapkan sesuatu. Dalam tulisan ini, sesuatu tersebut adalah Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen), maksudnya adalah perbuatan peneliti menerapkan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Kelas VIII Semester Gasal.
Adapun penerapan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Kelas VIII Semester Gasal sebagai berikut.
Model Project Citizen dikarenakan memang sifatnya yang generik dan universal, maka materi yang dibahas dapat merupakan materi lintas SK, lintas KD bahkan lintas mata pelajaran (Dahli Ahmad: http://dahli-ahmad.blogspot.com). Adapun dari beberapa Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas VIII Semester Gasal yang mungkin dapat dicapai melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) adalah sebagai berikut.
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila

1.3     Menunjukkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
1.4     Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyakat
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di atas dipilih karena sesuai dengan fokus perhatian dari model Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) lebih mengarah pada pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan siswa agar mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.

Metodologi Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian tindakan kelas. Dalam hal ini, tindakan yang akan dicermati dalam penelitian ini adalah penerapan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn kelas VIII semester gasal di SMP Negeri 3 Semarang tahun pelajaran 2011- 2012.

Sumber Data

Sumber data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh langsung di SMP Negeri 3 Semarang seperti siswa kelas VIII dan guru sebagai mitra peneliti serta seluruh komponen sekolah.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain :
1.         Observasi
Untuk penelitian ini adalah peneliti mengadakan observasi langsung dengan cara mengamati penerapan Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)  pada mata pelajaran  PKn di kelas VIII SMP Negeri 3 Semarang.
2.         Tes
Tes yang digunakan peneliti untuk mengetahui kemampuan dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran PKn dengan model Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen) ada dua yaitu tes perbuatan dan tes produk. Tes perbuatan dilakukan pada saat para siswa melakukan gelar kasus (Showcase). Tes produk yang dihasilkan para siswa sebagai hasil proyek belajar adalah portofolio hasil belajar, yang terdiri atas portofolio tayangan dan portofolio dokumen.

3.         Dokumentasi
Dokumentasi yang digunakan peneliti adalah laporan kegiatan siswa yang ditugaskan guru yang berupa bundel (portofolio) dan sumber lain yang relevan, seperti lembar pengamatan dari guru sebagai kolaborasi dalam penelitian.


Analisis Data

Data yang berupa catatan pengamatan, keadaan, hasil belajar koginitif dan afektif serta produk penilaian dianalisa dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan pendekatan triangulasi data. Pertama dilakukan reduksi data, yaitu kegiatan memilih data mana yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk dipaparkan. Kedua, melakukan pemaparan data, dan ketiga dilakukan verifikasi pengambilan kesimpulan.
Untuk mengetahui seberapa besar kualitas proses dan hasil belajar PKn. Maka analisis juga dilakukan pada instrumen lembar pengamatan guru dengan menggunakan teknik deskriptif prosentase.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Setelah diterapkannya model pembelajaran Project Citizen, kualitas pembelajaran PKn mengalami peningkatan yang signifikan. Kualitas pembelajaran PKn dengan menggunakan model pembelajaran Project Citizen dapat disimak melalui perbandingan rekapitulasi hasil pengamatan sebelum penelitian dan sesudah penelitian sebagai berikut :

Perbandingan Kualitas Pembelajaran PKn Sebelum dan Sesudah Penggunaan Model Pembelajaran Project Citizen
Nilai rata-rata & (%)
Peningkatan
Sebelum
Sesudah
Nilai
rata-rata
(%)
Nilai
rata-rata
(%)
Nilai
rata-rata
(%)
2,6
52 %
4,05
81 %
1,45
29 %
Sumber : Data yang diolah
Keterangan nilai prosentase :
< 55 %                             = kualitas pembelajaran kurang baik
56 % - 65 %                     = kualitas pembelajaran cukup baik
66 % - 80 %                     = kualitas pembelajaran baik           
> 80 %                             = kualitas pembelajaran sangat baik
Berdasarkan data hasil penelitian yang terpapar pada tabel di atas nampak bahwa kualitas pembelajaran PKn dengan menggunakan model Project Citizen meningkat. Hal itu dapat dilihat dan dibandingkan antara sebelum dan sesudah penelitian. Sebelum peneliti mengadakan penelitian diketahui bahwa kualitas pembelajaran PKn sebelum menggunakan model Project Citizen kurang baik. Dengan prosentase kualitas pembelajaran 52%. Namun setelah penggunaan model pembelajaran Project Citizen prosentase kualitas pembelajaran bertambah menjadi 81% (sangat baik). Rata-rata peningkatan kualitas pembelajaran sebesar 29 %. Ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Project Citizen dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PKn.

Pembahasan
Model pembelajaran Project Citizen berdasar hasil penelitian di atas merupakan pembelajaran yang mampu menjadikan mata pelajaran PKn menjadi:
1.        Pembelajaran PKn menjadi lebih bermakna
Dalam pembelajaran Project Citizen siswa merupakan sentral pembelajaran sedangkan guru sebagai fasilitator. Dengan pembelajaran Project Citizen siswa banyak memperoleh pengalaman belajar yang sangat bermakna. Pengalaman tersebut antara lain pengalaman sosial dalam kerja kelompok (cooperation learning), pengalaman akademik melalui pemecahan masalah (problem solving), menyusun portofolio dokumen sebagai publikasi yang menarik serta mempresentasikannya dengan membuat portofolio tayangan. Selain itu siswa mendapatkan wawasan substansial seperti pemahaman tentang kebijakan publik, belajar tentang masalah-masalah yang ada di masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah publik. Semua itu menjadikan belajar benar-benar bermakna.
2.        Proses pembelajaran PKn menjadi menyenangkan dan menarik
Berdasarkan observasi dan dokumentasi dapat dikatakan bahwa pembelajaran Project Citizen pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan menarik. Selain mendapat teori mata pelajaran juga dapat belajar sambil bermain. Siswa tidak merasa jenuh dengan pembelajaran yang hanya di kelas tetapi juga dapat ikut turun langsung ke lapangan mencari data dan informasi, siswa dapat leluasa menuangkan ide dan pendapat sehingga siswa terdorong untuk aktif, kreatif, dan kritis terhadap masalah yang dikaji. Siswa mendapatkan ruang yang cukup luas untuk berapresiasi dan berkreasi, dengan demikian kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran Project Citizen memberi tantangan tersendiri bagi siswa karena siswa terlibat mencari, mengalami, bahkan menemukan kebermaknaan belajar dan mendapatkan pengalaman berharga yang tidak didapatkan dalam kelas.
3.        Kualitas Pembelajaran PKn menjadi meningkat
Berdasarkan hasil observasi pembelajaran Project Citizen mampu meningkatkan kualitas pembelajaran PKn yang dilihat dari beberapa aspek yakni :
a.       Dari aspek perilaku pembelajaran guru dapat dilihat terjadi peningkatan yakni guru mampu menerapkan model pembelajaran Project Citizen yang relevan dengan mata pelajaran PKn untuk kegiatan pembelajaran dan praktek; guru mampu menyiapkan kondisi yang kondusif untuk belajar siswa dan menyediakan sumber belajar seperti surat kabar yang mampu dieksplorasi siswa dalam langkah mengidentifikasi masalah; guru mampu memberikan tugas yang menantang untuk memperdalam suatu konsep.
b.      Dari aspek perilaku dan dampak belajar siswa dapat dilihat terjadi peningkatan yakni keaktifan siswa dalam proses pembelajaran seperti siswa aktif berpendapat, siswa dapat aktif diskusi, siswa aktif bertanya dalam kelompok portofolio dan gelar kasus (Show Case); siswa termotivasi untuk belajar; siswa mampu belajar mandiri serta mencari dan memanfaatkan sumber belajar dan menganalisis masalah yang belum dikuasai.
c.       Dari aspek iklim pembelajaran terjadi peningkatan yakni melalui langkah-langkah pembelajaran Project Citizen, suasana kelas menjadi kondusif, bervariasi, menimbulkan gairah belajar, mampu memotivasi siswa, berbeda dari pembelajaran yang biasa dilakukan; iklim pembelajaran pada saat kegiatan gelar kasus (Show Case) membuat siswa tertantang untuk bertanya mengerjakan tugas, mengungkapkan pendapat, atau mengajukan prakarsa serta menanggapi sesuatu.
d.      Dari aspek materi pembelajaran terjadi peningkatan yakni materi pembelajaran menjadi sistematis dan terpadu dan kontekstual karena berkaitan dengan masalah “kenaikan harga sembako”; dengan penyajian materi yang berupa pemecahan masalah dapat mengakomodasikan partisipasi aktif siswa dalam belajar semaksimal mungkin.
e.       Dari aspek media pembelajaran; terjadi peningkatan melalui media portofolio tayangan dan dokumentasi dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna; mampu menfasilitasi proses interaksi siswa dan guru; siswa dan siswa; serta siswa dengan ahli bidang ilmu yang relevan; dapat memperkaya pengalaman belajar siswa; mampu mengubah suasana belajar dari siswa pasif dan guru sebagai sumber ilmu satu-satunya, menjadi siswa aktif berdiskusi dan mencari informasi melalui berbagai sumber belajar yang ada.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.        Pembelajaran Project Citizen merupakan pembelajaran yang menyenangkan dan menarik karena siswa mendapat pengalaman belajar yang sangat bermakna, tidak hanya dari guru saja tetapi juga di dapat dari nara sumber langsung di lapangan, lingkungan, masyarakat dan media.
2.        Penerapan model pembelajaran Project Citizen pada mata pelajaran PKn kelas VIII D SMP Negeri 3 Semarang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang semula (sebelum penelitian) kurang baik (52 %) menjadi sangat baik (81 %). Rata-rata peningkatan kualitas pembelajaran sebelum dan sesudah penelitian sebesar 29 %.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyarankan :
1.        Model pembelajaran Project Citizen merupakan model pembelajaran yang menyenangkan, menarik dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Para guru dan sekolah hendaknya menerapkan model pembelajaran Project Citizen dengan memperhatikan dan menyesuaikan kondisi, sarana prasarana dan fasilitas yang ada, terlebih lagi bagi kesulitan dalam meningkatkan antusiasme belajar siswa.
2.        Keterbatasan waktu, keterbatasan tenaga dan minimnya biaya menjadikan penelitian ini belum bisa mendapat hasil yang maksimal. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal diharapkan agar pihak sekolah memberi dukungan, sarana prasarana yang memadai dan bantuan biaya serta menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Daftar Pustaka
Ahmad, Dahli. 2010. Model Pembelajaran Project Citizen. (http://dahli-ahmad.blogspot.com/2010/07/model-pembelajaran-project-citizen. html).

Budimansyah, D. 2008. “Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)” dalam Acta Civicus  Vol. 1. Nomor 2, April 2008.

Budimansyah, D. 2009. Inovasi Pembelajaran Project Citizen. Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung :  Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. dan Karim Suryadi. 2008. PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. 2006.        Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Fachrudin, Rifto. 2010. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang Hak Asasi Manusia dengan Model Project Citizen. Tesis Program Pascasarjana UPI: diunduh dari http://abstrak.digilib.upi.ac.id.

Komalasari, K. Dan D. Budimansyah. 2008. “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP” dalam Acta Civicus Vol. 2, No. 1, Oktober 2008.

Mariani, Scolastika. 2009. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. (http://scmariani-unnes.blogspot.com/)