Pemilihan Umum (Pemilu) 2014
merupakan salah satu momentum yang paling menentukan dalam kehidupan demokrasi
negara Indonesia. Pesta demokrasi ini akan menentukan tidak hanya kepala Negara
tetapi juga para wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif (DPR, DPD,
dan DPRD). Seluruh proses ini tentunya tidak akan berjalan tanpa partisipasi
dari pemilih di seluruh Indonesia. Pemilu 2014 adalah pemilu yang ditandai dengan
sejumlah persoalan penting salah satunya pemilih pemula ditengarai lebih besar
kuantitasnya dari pada pemilih dewasa.
Berdasarkan Undang-undang No. 10
tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari
pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap
berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak
pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang
Pemilu.
Data BPS menyebutkan, tidak
kurang dari 15-20% pemilih pada Pemilu 2014 adalah pemilih pemula. BPS (sensus
penduduk 2010) penduduk usia produktif 26% atau 64 juta penduduk usia 15-19
tahun berjumlah 20.871.086 jiwa. Usia 20-24 tahun berjumlah 19.878.417 orang[1].
Jumlah total pemilih pemula 40.749.503 orang. Sedangkan Data Daftar Penduduk
Potensial Pemilih Pemilu (DP4) menunjukkan, data pemilih berumur 10 – 20 tahun
berjumlah 46 juta, dan data pemilih berumur 20 – 30 tahun berjumlah 14 juta [2].
Dari data tersebut di atas,
pemilih pemula khusunya generasi muda merupakan pemilih yang dinilai sangat
potensial dan memiliki posisi yang sangat strategis pada pemilu 2014. Namun,
hali ini juga menjadi tantangan dalam pemilu 2014 mengingat salah satu bagian
yang cukup banyak menyumbangkan golput adalah para generasi muda. Hal ini juga
didukung dengan karakteristik generasi muda yang semakin kritis, kreatif, dan
inovatif sehingga tidak mudah dengan berbagai janji-janji politik serta banyak
dari mereka yang belum menentukan pilihan politik (swing voters).
Penelitian yang dilakukan oleh
Hevi Kurnia Hardini, Dosen Muda FISIP UMM terhadap Pemiih Pemula, menjelaskan
beberapa perilaku yang ditunjukkan diantaranya;
1)
Pemilih Pemula tidak menunjukkan antusiasme dalam
menghadapi pemilukada dan mayoritas tidak tertarik untuk ikut serta dalam
kampanye politik, namun 72% responden tetap menggunakan hak pilihnya.
2)
Ada keinginan besar untuk merasakan pengalaman dengan
menggunakan hak pilih, tercermin dari 70% responden menyatakan tetap memilih
diantara calon yang ada kendati tidak ada pasangan calon yang sesuai dengan
pilihan mereka. Ditambah 60% diantaranya menyatakan setidaknya memberikan
pilihan dalam Pilkada. Serta diperkuat 60% responden yang menyatakan keinginan
hanya untuk ikut serta dalam pilkada.
3)
Pemilih pemula lebih menyukai hal-hal yang mudah dan
sederhana untuk dimengerti. Salah satu bentuknya adalah sikap memilih partai
lama karena dianggap gampang. Terlalu banyak hal baru yang harus dipahami [3].
Terkait dengan besarnya potensi
golput yang dilakukan oleh generasi muda dalam pemilu 2014, maka Pendidikan
politik bagi pemilih pemula merupakan salah satu strategi meningkatkan
pemahaman mereka terhadap partisipasi dan menggunakan hak pilih dalam Pemilu
2014. Menurut Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center, Pendidikan
politik bagi pemilih pemula akan membawa manfaat untuk membuat pemilih pemula
lebih mengerti soal pentingnya kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia,
sehingga kemudian diharapkan akan tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk turut
serta berpartisipasi dalam pemilu[4].
Hal ini penting mengingat
pendidikan politik untuk pemilih pemula sebagaian besar diperoleh dari
informasi media massa dan social media yang cenderung menampilkan sisi buruk
dari perilaku elite politik sehingga mempengaruhi minat pemilih pemula. Hal ini
mengakibatkan pendidikan politik bagi pemilih pemula tidak optimal. Oleh karena itu, pendidikan politik perlu
diterapkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi, karena kebanyakan
para pemilih pemula berada di lingkungan tersebut.
Menurut Mendikbud, ada beberapa hal yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam
ikut mewarnai tahun politik, di antaranya: menyiapkan agenda diskusi dalam
kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan akademik; mengundang
capres-cawapres menyampaikan ide dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor
akademik, bukan politik praktis[5]. Oleh
karena itu, dalam momentum pemilu 2014 sangat diperlukan peran perguruan tinggi
untuk melakukan pendidikan politik bagi generasi muda. mengingat mahasiswa yang
menjadi subyek sekaligus obyeknya adalah para generasi muda yang beranjak
dewasa dan disiapkan tidak saja profesional di bidangnya tetapi juga menjadi
pemimpin masa depan.
[1]
FGD Jadilah Pemilih Pemula yang Cerdas. Kamis,
14 Februari 2013
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7516
[2]
Paparan Diah Setyawati (Perludem: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi)
“Pemilih Pemula, Sudah Cerdas?” pada Senin, 9 Desember 2013
[3]
HeviKurniaHardini, Analisa Model Partisipasi Politik dan Rasionalisasi
Penggunaan Hak Pilih Pada Pemilih Pemula, FISIP UMM, 2009.
[4]
Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center. “Pemilih Pemula” opini
Selasa, 19 November 2013 Koran Tempo
[5]
http://www.kopertis12.or.id/2014/01/06/soal-tahun-politik-2014-mendikbud-beri-kebebasan-kampus-untuk-pendidikan-politik.html#sthash.2Mamu71T.dpuf
*Noor Rochman, S. Pd., Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI
(MPO) Cabang Semarang 1434-1435H/2013-2014 M, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS UNNES
Semester IV.