MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH:
SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG
HABITUS DALAM PENDIDIKAN*
Oleh
: Noor Rochman**
Kekerasan
merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita
mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya
pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan
mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek
kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih
jelas di
ingatan kita berbagai kasus kekerasan terjadi di sepanjang tahun ini antara lain kasus
kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap
jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah
yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus
kekerasan dalam dunia pendidikan.
Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan
atau bullying di sekolah, sering dilegitimasi
dengan alasan “menegakkan disiplin” di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan
yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos
serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan
menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas,
proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam
diri siswa. Misalnya, tawuran antarpelajar yang dapat dilatarbelakangi karena
siswa merasa menjadi satu golongan yang membela “teman” atau “membela
sekolahnya”. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif”
dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa dari sekolah atau “gank” yang berbeda, dapat
berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang
berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa
pelajar.
Uraian di atas merupakan sebuah fenomena
kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah
untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk
kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk
kekerasan tersebut adalah “kekerasan
simbolik”. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog
dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang
digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk
“memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok
kelas bawah yang dodominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga
sebagai habitus. Akibatnya
masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan
mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka
(kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah
selayaknya “dibuang jauh-jauh”.
Banyak
mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan
habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi
habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat
melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta
berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus
dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa
untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas
atas.
Riwayat Singkat Bourdieu
Pierre-Felix
Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan
Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia
mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke
Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan
akhirnya masuk ke Ecole Normale
Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951.
Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée
di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan
dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.
Pada 1960, ia kembali ke
Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur
Kajian di École Pratique des Hautes
Études (yang kemudian menjadi École
des Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan
seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di
Prancis, ia mendirikan Centre for the
Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara
lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction
(1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice,
1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la
télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar
kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi,
elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu
menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia
meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002.
Konsep Dasar Bourdieu
Bourdieu
merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis.
Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk
menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep
pendidikan dan sekolah.
1. Modal
Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal
semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan
sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau
bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah
modal sosial (social capital), modal
budaya (cultural capital), modal
simbolik (symbolic capital). Modal
sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang
terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling
mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal
sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk
terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti
keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau
keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata,
berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah
bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan
sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang
sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan
tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal
simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.
2. Kelas
Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai
kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan
dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang
serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan,
perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi
tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh
pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu
mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya
dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu
memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua,
kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki
kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk
menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam
struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi
terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas
populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal
ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung
menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang
dipaksakan kelas dominan.
3. Habitus
Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan
Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan
Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl
dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya,
habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke
dalam bahasa Latin dengan istilah habitus.
Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem
disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh
dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation)
kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman.
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis
sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah
nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses
sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara
berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus
seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah
begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai
Hexis (
: 2012).
Setiap kelas akan memiliki habitus yang
berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada
kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui
berbagai mekanisme kekuasaan.
4. Kekerasan dan Kekuasaan
Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup
kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah
praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di
dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan
aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya
tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan
dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa
dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki
kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas
tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai
kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam
ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial
dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang
diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah,
bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut.
Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang
dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya
demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi
atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.
Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik
Pendidikan
bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas
dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme
sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu
mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan
mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa
dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas
terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah.
Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa
dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan
cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa
diistilahkan Bourdieu dengan habitus.
Sekolah-sekolah
menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan
sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai
satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak
(siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut.
Menurut Bourdieu:
… budaya elite begitu dekat dengan
budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat
memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik
–gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai
sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan
yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan
kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut.
Dengan cara
ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang
diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi
yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang
hierarkis. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelas
dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu
menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat
mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut- proses borjuasi,
meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai
habitus yang paling baik dan paling sempurna.
Pernyataan di
atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan
sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan
memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak
akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki
modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta
didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka
beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya
(membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat
mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan
keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang
dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese
budaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan
sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser
serta kegiatan sejenis lainnya.
Sebaliknya,
peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke buaya luar
adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi
budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas
proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya
mengandaikan corpus pengetahuan,
keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya
dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal
budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang
berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa
ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu.
Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh
diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang
kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk
itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan
kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan,
sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan
elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan
keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin
pelanggengan privilese mereka.
Selain itu,
sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi
sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah
selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri
dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut
memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi”
positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya
fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan
dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam
dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi
individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing,
perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring
untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas
dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah
diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja.
Kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan.
Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak
pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas
dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata
pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki
materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai
lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam
mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan
guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk
memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak
langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan
materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan
disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan
mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi,
cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang
tentu saja berbiaya mahal.
Dengan
demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk
berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika
siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus
kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi
kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal
maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas
terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan
ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu “dikenalkan”
dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya
hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur
kata, cara bertindak “yang baik” menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka
selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang
sudah diatur “dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus
kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila
habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai
habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di
sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka
harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka:
berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu
membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering
kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran
olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.
Referensi :
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan
Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir
Kritis bersama Pierre Bourdieu. http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/
diakses tanggal 13 Oktober 2012.
terima kasih sudah membaca dan membuat resume ttg buku terbaru saya.
BalasHapusterima kasih sekali.
salam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus