Sabtu, 17 November 2012

KERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN


MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN  PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN*

Oleh : Noor Rochman**

Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih jelas di ingatan kita berbagai kasus kekerasan terjadi di sepanjang tahun ini antara lain kasus kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.
Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan atau bullying di sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan “menegakkan disiplin” di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antarpelajar yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela “teman” atau “membela sekolahnya”. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa  dari sekolah atau “gank” yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar.
 Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang dodominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”.
Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas.

Riwayat Singkat Bourdieu
Pierre-Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.
Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002.

Konsep Dasar Bourdieu
Bourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah.
1.    Modal
Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.
2.    Kelas
Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan.
3.    Habitus
Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman.
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A Wattimena: 2012).
Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan.
4.    Kekerasan dan Kekuasaan
Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.

Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik
Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan Bourdieu dengan habitus.
Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu:
            … budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik –gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut.

Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut- proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna.
Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese budaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser serta kegiatan sejenis lainnya.
Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke buaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikan corpus pengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggengan privilese mereka.
Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi” positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal.
Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu “dikenalkan” dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak “yang baik” menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur “dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.



Referensi :
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ diakses tanggal 13 Oktober 2012.

* Hasil resume buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ideo Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu.
** Staff Bidang Wacana HMI Cabang Semarang periode 1433-1434 H/ 2012-2013 M, Mahasiswa semester 1, Pend. IPS PPS UNNES.

2 komentar:

  1. terima kasih sudah membaca dan membuat resume ttg buku terbaru saya.
    terima kasih sekali.

    salam

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus