Rabu, 02 April 2014

Peran Perguruan Tinggi dalam Pendidikan Politik Generasi Muda Menghadapi Pemilu 2014 Oleh : Noor Rochman, S. Pd.*



Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 merupakan salah satu momentum yang paling menentukan dalam kehidupan demokrasi negara Indonesia. Pesta demokrasi ini akan menentukan tidak hanya kepala Negara tetapi juga para wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Seluruh proses ini tentunya tidak akan berjalan tanpa partisipasi dari pemilih di seluruh Indonesia. Pemilu 2014 adalah pemilu yang ditandai dengan sejumlah persoalan penting salah satunya pemilih pemula ditengarai lebih besar kuantitasnya dari pada pemilih dewasa.
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu.
Data BPS menyebutkan, tidak kurang dari 15-20% pemilih pada Pemilu 2014 adalah pemilih pemula. BPS (sensus penduduk 2010) penduduk usia produktif 26% atau 64 juta penduduk usia 15-19 tahun berjumlah 20.871.086 jiwa. Usia 20-24 tahun berjumlah 19.878.417 orang[1]. Jumlah total pemilih pemula 40.749.503 orang. Sedangkan Data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) menunjukkan, data pemilih berumur 10 – 20 tahun berjumlah 46 juta, dan data pemilih berumur 20 – 30 tahun berjumlah 14 juta [2].
Dari data tersebut di atas, pemilih pemula khusunya generasi muda merupakan pemilih yang dinilai sangat potensial dan memiliki posisi yang sangat strategis pada pemilu 2014. Namun, hali ini juga menjadi tantangan dalam pemilu 2014 mengingat salah satu bagian yang cukup banyak menyumbangkan golput adalah para generasi muda. Hal ini juga didukung dengan karakteristik generasi muda yang semakin kritis, kreatif, dan inovatif sehingga tidak mudah dengan berbagai janji-janji politik serta banyak dari mereka yang belum menentukan pilihan politik (swing voters).
Penelitian yang dilakukan oleh Hevi Kurnia Hardini, Dosen Muda FISIP UMM terhadap Pemiih Pemula, menjelaskan beberapa perilaku yang ditunjukkan diantaranya;
1)      Pemilih Pemula tidak menunjukkan antusiasme dalam menghadapi pemilukada dan mayoritas tidak tertarik untuk ikut serta dalam kampanye politik, namun 72% responden tetap menggunakan hak pilihnya.
2)      Ada keinginan besar untuk merasakan pengalaman dengan menggunakan hak pilih, tercermin dari 70% responden menyatakan tetap memilih diantara calon yang ada kendati tidak ada pasangan calon yang sesuai dengan pilihan mereka. Ditambah 60% diantaranya menyatakan setidaknya memberikan pilihan dalam Pilkada. Serta diperkuat 60% responden yang menyatakan keinginan hanya untuk ikut serta dalam pilkada.
3)      Pemilih pemula lebih menyukai hal-hal yang mudah dan sederhana untuk dimengerti. Salah satu bentuknya adalah sikap memilih partai lama karena dianggap gampang. Terlalu banyak hal baru yang harus dipahami [3].

Terkait dengan besarnya potensi golput yang dilakukan oleh generasi muda dalam pemilu 2014, maka Pendidikan politik bagi pemilih pemula merupakan salah satu strategi meningkatkan pemahaman mereka terhadap partisipasi dan menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2014. Menurut Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center, Pendidikan politik bagi pemilih pemula akan membawa manfaat untuk membuat pemilih pemula lebih mengerti soal pentingnya kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia, sehingga kemudian diharapkan akan tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu[4].
Hal ini penting mengingat pendidikan politik untuk pemilih pemula sebagaian besar diperoleh dari informasi media massa dan social media yang cenderung menampilkan sisi buruk dari perilaku elite politik sehingga mempengaruhi minat pemilih pemula. Hal ini mengakibatkan pendidikan politik bagi pemilih pemula tidak optimal.  Oleh karena itu, pendidikan politik perlu diterapkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi, karena kebanyakan para pemilih pemula berada di lingkungan tersebut. 
Menurut Mendikbud, ada beberapa hal yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam ikut mewarnai tahun politik, di antaranya: menyiapkan agenda diskusi dalam kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan akademik; mengundang capres-cawapres menyampaikan ide dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor akademik, bukan politik praktis[5]. Oleh karena itu, dalam momentum pemilu 2014 sangat diperlukan peran perguruan tinggi untuk melakukan pendidikan politik bagi generasi muda. mengingat mahasiswa yang menjadi subyek sekaligus obyeknya adalah para generasi muda yang beranjak dewasa dan disiapkan tidak saja profesional di bidangnya tetapi juga menjadi pemimpin masa depan.


[1]  FGD Jadilah Pemilih Pemula yang Cerdas. Kamis, 14 Februari 2013
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7516
[2] Paparan Diah Setyawati (Perludem: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) “Pemilih Pemula, Sudah Cerdas?” pada Senin, 9 Desember 2013
[3] HeviKurniaHardini, Analisa Model Partisipasi Politik dan Rasionalisasi Penggunaan Hak Pilih Pada Pemilih Pemula, FISIP UMM, 2009.
[4] Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center. “Pemilih Pemula” opini
Selasa, 19 November 2013 Koran Tempo
[5] http://www.kopertis12.or.id/2014/01/06/soal-tahun-politik-2014-mendikbud-beri-kebebasan-kampus-untuk-pendidikan-politik.html#sthash.2Mamu71T.dpuf

*Noor Rochman, S. Pd., Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI (MPO) Cabang Semarang 1434-1435H/2013-2014 M, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS UNNES Semester IV.

0 komentar:

Posting Komentar