Selasa, 19 Februari 2013

PENDIDIKAN PEMBEBASAN PASCA PENGHAPUSAN RSBI


SEMANGAT PENDIDIKAN PEMBEBASAN PASCA PUTUSAN PENGHAPUSAN RSBI
Oleh : Noor Rochman, S. Pd.*

 “Berbicara tentang pendidikan, berarti kita harus siap-siap untuk sakit hati, terjebak dalam lumpur kesedihan, dan bersiap-siap menghadapi kemarahan diri sendiri”, mungkin ini adalah ungkapan yang menggambarkan kekesalan kita terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang carut-marut dan tidak berpihak kepada rakyat miskin seperti yang diungkapkan dalam beberapa judul buku pendidikan sebagai berikut: Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko Presetyo, dan Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas. Kondisi yang digambarkan dalam judul buku tersebut memang nyata terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana pendidikan  khususnya sekolah telah menciptakan kasta antara kaum kaya lebih mendapat tempat dalam pendidikan karena kapitalismenya dan kaum miskin yang terpinggirkan, serta output yang dihasilkan dalam pendidikan semakin rusak moralnya karena hanya mengejar angka dengan cara-cara yang tidak baik seperti yang terjadi dalam kasus UN, tawuran pelajar, dan serta seks bebas. Sistem pendidikan  yang seharusnya menjadikan alat pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan kini semakin membelenggu masyarakat untuk keluar dari zona tersebut sehingga timbul keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut.
Kondisi di atas  juga digambarkan oleh Ivan Illich dalam buku Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah) tahun 1970 yang membuat gagasan untuk membebaskan masyarakat dari dari belenggu sekolah ketika sistem pendidikan di Amerika Latin menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan pendidikan bagi masyarakat dan tidak berpihak pada masyarakat miskin. Menurut Ivan Illich (1970) sekolah harus dihapuskan, dan ia yakin tujuan peniadaan sekolah dalam masyarakat akan menjamin siswa dapat memperoleh kebebasan dalam belajar. Gagasan Illich untuk bebas dari belenggu sekolah tersebut jika dikontekskan dalam sistem pendidikan di Indonesia hampir serupa dengan semangat beberapa orang tua siswa dan masyarakat yang  tergabung dalam koalisi anti komersialisasi pendidikan (KAKP) yang berusaha menggungat sekolah RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional) dengan melakukan permohonan judicial review pada pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti yang kita ketahui, Program RSBI/SBI ini digugat oleh masyarakat karena dianggap mendiskriminasi siswa yang miskin dan hanya diperuntukan untuk siswa-siswa yang kaya. Kemudian pada tanggal 8 Januari 2013 kemarin Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menerima gugatan dengan menghapus pasal 50 ayat (3) yang menjadi dasar menjamurnya RSBI. Penting sekali kiranya kita mengkaji putusan MK tersebut karena kita bisa melihat masih ada semangat untuk membebaskan pendidikan di tengah tekanan kapitalisme global.

Menggugat RSBI
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) serta tahapan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan usaha pemerintah yang digadang-gadang mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia serta mampu mensejajarkan sekolah di Indonesia dengan sekolah-sekolah di negara lain.  Dasar Hukum pelaksanaan SBI/RSBI adalah Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Pasal 50 ayat (3), “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Sejak awal kemunculan RSBI tahun 2006 belum mampu menunjukkan indikator perbaikan mutu pendidikan tetapi hanya menghasilkan kritik terhadapnya mulai dari persoalan biaya yang tinggi yang muncul, ketakutan akan tercerabutnya peserta didik dari akar sosial budaya Indonesia, landasan hukum keberadaan SBI juga dipersoalkan. Pelaksanaan SBI/RSBI membawa implikasi terhadap pengelolaan pendidikan/sekolah tersebut, namun aspek tersebut masih perlu dibenahi. Triwiyanto, Teguh & Ahmad Yusuf Sobri (2010) mengemukakan bahwa permasalah pengelolaan SBI/RSBI antara lain komodifikasi dalam SBI, status akreditasi SBI yang mahal, kurikulum yang masih mencari porsi idelal antara nasional dan internasional, proses pembelajaran SBI, penilaian SBI yang masih banyak kendala, tenaga kependidikan SBI yang masih jauh dari harapan, serta sarana prasarana yang masih sekedar penguatan citra sekolah.
Komodifikasi merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapat keuntungan. Komodifikasi Pendidikan merupakan akar persoalan ketidakadilan dalam SBI dan RSBI yang dirasakan sebagian masyarakat karena menjadikan pendidikan sebagai barang yang diperdagangkan dan diserahkan kepada pasar yang mampu membelinya dalam hal ini adalah orang kaya yang mampu menjangkaunya. Dengan label internasional dan tata kelola yang menghabiskan biaya tinggi dijadikan sebagai ajang komersil untuk menarik pungutan sebanyak-banyaknya kepada orang tua murid dengan dalih pemenuhan prasarana. Akibatnya siswa-siswa miskin secara otomatis tersisihkan oleh sistem tersebut. Salah satu kekhawatiran komodifikasi pendidikan dapat dilihat dengan tingginya biaya masuk yang dikeluhkan masyarakat luas. Majalah Derap Guru Jawa Tengah (Edisi 127/Th. X/Agustus 2010) melaporkan bahwa di Kota Semarang ada ketakutan orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya ke Sekolah SBI/RSBI di Kota Semarang karena memasang biaya masuk hingga 4 juta bahkan sampai 8 juta dan iuran bulanan Rp. 300.000,- sampai Rp. 750.000,- per siswa. Sehingga wajar kalau RSBI dikatakan banyak pihak sebagai “Sekolah Berbiaya Internasional”.
Biaya yang harus ditanggung orang tua peserta didik ini memang menjadi permasalahan mengingat semua sekolah RSBI mendapat kucuran bantuan dana dari pemerintah yang berbeda untuk tiap jenjangnya, misalnya pada tahun 2010 bantuan untuk SD sebesar Rp. 200 juta, SMP sebesar Rp. 400 juta, dan SMA Rp. 500 juta. Belum lagi dana BOS per tahun sebesar Rp. 500 juta per tahun. Memang, pengeluaran dalam RSBI tidak sedikit dibanding sekolah lain, pertama kelengkapan sarana dan prasarana yang berbasis ICT, kedua untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia-guru dan tenaga pendidik-berupa beasiswa studi atau kursus lain, ketiga penerapan kurikulum internasional dari Cambridge, Inggris, yang mengharuskan membayar Commitment Fee sebesar Rp. 24 juta pertahun. Namun, besaran iuran dan sumbangan yang dibebankan kepada orang tua harus rasional dan mampu mengalokasikan sebagian kuotanya untuk siswa kurang mampu. Jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan kesempatan mengakses pendidikan bagi orang mampu dengan rakyat miskin dan melahirkan sistem pendidikan yang tidak demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif. Akses pendidikan masyarakat kurang mampu akhirnya hanya terbatas pada sekolah-sekolah dengan fasilitas seadanya di luar SBI, dan terancam memiliki hasil pendidikan yang kurang mutunya.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai SBI atau rintisan SBI adalah inkonstusional karena melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".  Pasal tersebut mengamanatkan pemerintah menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, sedangkan sekolah berlabel “internasional” berada diluar sistem pendidikan nasional yang diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Namun, sepanjang UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat (3) yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak dihapus, sekolah-sekolah SBI/RSBI akan terus berkembang yang sampai saat in jumlahnya sekitar 1300an di seluruh Indonesia. UU Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas menyebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan harus demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Jika keberadaan SBI/RSBI sendiri malah melahirkan sistem yang tidak demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif, maka dengan jelas menghianati UU Sistem Pendidikan Nasional sendiri. Ini adalah ‘moral hazard’ yang membuat pemerintah digugat karena telah mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan pendidikan yang tidak diskriminatif.


Putusan MK
Kritik masyarakat terhadap keberadaan sekolah berlabel internasional (SBI/RSBI) yang ditindaklanjuti dengan mengajukan Judicial Review pasal 50 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi dasar hukum berdirinya SBI/RSBI akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan sidang nomor 5/PUU-X/2012 MK mengabulkan permohonan sejumlah orang tua murid yakni Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria dan Milang Tauhida bersama sejumlah aktivis pendidikan, yaitu Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo dan Febri Antoni Arif. Amar putusannya adalah Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; yang dibacakan pada Selasa (08/01/2013) lalu. MK menilai Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas, yang menurut para Pemohon dianggap: 1) Bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) Bertentangan dengan kewajiban Negara mencerdaskan kehidupan bangsa, 3) Menimbulkan dualisme Sistem Pendidikan di Indonesia, 4) Bentuk baru liberalisasi Pendidikan, 5) Menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan, 6) Menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia.
Pertimbangan MK dalam menilai Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas bertentangan dengan konstitusi sebagai berikut:
a.    Pertama, menurut Mahkamah Konsitusi satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan kewajiban negara untuk  mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat yang mewajibkan negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas secara adil, negara juga bertanggung jawab untuk membangun dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang berkarakter sesuai dengan dasar falsafah negara.
b.    Kedua, Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan dualisme sistem pendidikan karena memaksakan sekolah memenuhi dua standar/sistem pendidikan yakni standar nasional pendidikan (SNP), dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) atau negara maju lainnya.
c.    Ketiga, Satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan karena adanya peluang SBI/RSBI memungut biaya tambahan dari peserta didik baik melalui atau tanpa melalui komite sekolah, sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin untuk bersekolah di SBI/RSBI.
d.   Keempat, Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan karena adanya pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, dan akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut termasuk terhadap siswanya.
e.    Kelima, Satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia karena penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI dan SBI menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan sehingga kehebatan peserta didik yang ditekankan tolok ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing.
Meskipun demikian, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki memiliki pendapat yang berbeda, putusan MK tersebut berdampak pada ketidakpastian hukum, karena Mahkamah Konstitusi dalam berbagai keputusan sebelumnya telah menolak permohonan yang merupakan kasus konkrit seperti dalam kasus gugatan RSBI ini adalah kasus-kasus konkrit, bukan langsung mengenai konstitusionalitas. Menurutnya, apabila perkataan “bertaraf internasional” dalam Pasal a quo dikatakan menimbulkan multi interpretasi, sehingga dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum maka solusinya bukan dengan cara membatalkan pasal tersebut, tetapi Mahkamah memberikan penafsiran yang sesuai dengan konstitusi. Demikian juga Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang a quo, jika dalam praktek didapati hal hal yang tidak baik, maka yang diperbaiki prakteknya dan atau peraturan pelaksanaannya, bukan membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang a quo, karena. yang didalilkan oleh para Pemohon adalah kasus-kasus konkrit. Jika yang menimbulkan kastanisasi peraturan pelaksanaannya atau kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan di bawah Undang-Undang (misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen) maka wewenang pembatalannya berada pada Mahkamah Agung.
Terlepas dari hal tersebut, kita harus mengapresiasi putusan MK tersebut, karena memang yang bermasalah adalah Undang-Undangnya sehingga menghasilkan peraturan pelaksana serta praktiknya yang bermasalah dan berakibat munculnya kasus-kasus sebagaimana yang diajukan pemohon. Seberapa ngototnya pihak yang menolak penghapusan pasal tersebut, tetap akan menghasilkan permasalahan karena antara konseptual (Das Sollen) RSBI masih kacau balau, maka faktanya (Das Sein) pun akan berbeda dari yang diharapkan. Putusan MK tentang RSBI ini merupakan 'judicial review' keempat terhadap Undang-undang Sisdiknas yang diajukan ke MK dan keempatnya dikabulkan antara lain pasal 49 tentang anggaran pendidikan, pasal 53 tentang Badan Hukum Publik dan pasal 55 tentang bantuan bagi sekolah swasta.  Putusan MK tentang penghapusan RSBI membuktikan bahwa MK sebagai the Guardian of Constitution (pelindung konstitusi) masih tetap menjaga semangat dan ideologi pembebasan yakni dorongan untuk bebas dan merdeka yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Demikian pula dalam hal pendidikan, MK masih menilai dan memberikan sebuah semangat untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian dari proses pembebasan dan pemberdayaan untuk menghasilkan manusia yang merdeka. Sehingga dalam putusan MK tersebut kita dapat melihat masih adanya semangat untuk membebaskan pendidikan, dan kita sebagai warga negara yang merdeka harus menjaga semangat pembebasan tersebut.   

Pendidikan Pembebasan
Tanpa bermaksud menilai keputusan MK, kita sebagai warga negara harus menghormati dan menghargai keputusan tersebut karena keputusan tersebut sudah final. Dengan dibatalkannya pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas maka seluruh kebijakan atau peraturan yang didasarkan pada pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi, seperti ketentuan tentang SBI/RSBI dalam PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Permendiknas No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan RSBI, dan kebijakan-kebijakan lain baik ditingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Artinya keberadaan sekolah RSBI juga berarti kehilangan legalitasnya dan kembali menjadi sekolah pada umumnya. Keputusan tersebut harus kita sikapi dengan bijak, tanpa mengurangi semangat untuk tetap meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Semangat yang harus kita jaga adalah semangat untuk membebaskan pendidikan sebagaimana telah diperlihatkan oleh  beberapa orang tua murid, dan para aktivis anti komersialisasi pendidikan, dan para hakim konstitusi yang berwibawa dalam Mahkamah Konstitusi yang bersemangat untuk tetap menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan. Semangat pendidikan pembebasan adalah semangat yang harus tetap hidup pasca penghapusan RSBI.
Pendidikan pembebasan adalah konsep untuk membebaskan kaum miskin dari kebodohan dan ketertindasan. Menurut Darmaningtyas (2011) pendidikan pembebasan adalah pendidikan bagi kaum miskin guna membaskan kaum miskin dan bodoh dari segala ketertindasan. Pendidikan pembebasan menurutnya harus membuka peluang yang terbuka bagi anak-anak miskin dan bodoh untuk bersekolah, tanpa ada yang mengkotak-kotakan. Lebih lanjut, dalam paradigma pendidikan pembebasan Paulo Freire terungkap bahwa pendidikan dan dimensi pembebasan adalah bebas dalam menentukan jalan hidup, bebas dari budaya otoriter yang mendikte, bebas dari budaya verbal yang naif. Sistem dan orientasi Pendidikan yang diusulkan Paulo Freire mengarah pada tercapainya independensi manusia seutuhnya, yakni berkesadaran, berdiri sendiri, dan bebas berkehendak dalam menentukan garis jalan hidupnya (proses humanisasi), pendidikan merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia seutuhnya dari belenggu otoriter dan dominasi yang mendikte (hegemoni), serta pendidikan yang membebaskan manusia dari kungkungan metode pendidikan yang serba mekanis dan verbalistik. Sedangkan paradigma pendidikan pembebasan dalam pendidikan islam lebih mengutamakan pada bebas dari kebodohan dan pembodohan (Umiarso & Zamroni, 2011). Kebodohan lahir atau ada setidaknya bisa diidentifikasikan dari tiga hal, ketiadaan ilmu pengetahuan, kesalahan terhadap suatu keyakinan, kesengajaan dalam berpihak. Kebodohan merupakan cammon enemy (musuh bersama), tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga umat agama lainnya karena hal ini menyangkut upaya pemenuhan eksistensi manusia dari sekian potensi yang dimiliki. Karena bagaimanapun, manusia sebagai mandataris Tuhan memiliki potensi akal, yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diperoleh.
Gagasan pendidikan yang membebaskan semestinya menjadi harapan kita untuk membebaskan kaum miskin dari ketertindasan setelah dihapusnya RSBI, namun hal ini akan sulit dicapai manakala sistem pendidikan dan kebijakan kita masih sangat tidak adil dan tidak memihak kepada orang-orang miskin. Perubahan sistem atau kebijakan yang tidak adil itu hanya mungkin terjadi jika melalui gerakan yang massif secara kolektif, bersama dengan seluruh stakeholder (guru, murid, orang tua, swasta, LSM, ormas, dan parpol). Oleh karena itu, pendidikan yang membebaskan harus menjadi semangat kita bersama, untuk melakukan perubahan sistem pendidikan yang besar dan bisa memperjuangkan anak-anak miskin untuk memperoleh hak-hak pendidikan secara layak. Sehingga di masa yang akan datang tidak akan ada lagi sekolah-sekolah yang digugat karena alasan menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan seperti SBI/RSBI. Melalui semangat pendidikan yang membebaskan diharapkan dapat melahirkan sistem pendidikan yang menjadi alat pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan.

Referensi
Darmaningtyas. 2011. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LKiS.
Ivan Illich. 1970. Deschooling Society. http://ournature.org/~novembre/illich/1970_deschooling.html diakses pada tanggal 4 Februari 2013.
Triwiyanto, Teguh dan Ahmad Yusuf Sobri. Panduan Mengelola Sekolah Bertaraf Internasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat & Timur. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ diakses pada tanggal 9 Februari 2013.
Majalah Derap Guru Jawa Tengah, Edisi 127/Th. X/Agustus 2010
*Noor Rochman, S. Pd., Staff Bidang Wacana HMI (MPO) Cabang Semarang, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS UNNES Semester II.