SEMANGAT
PENDIDIKAN PEMBEBASAN PASCA PUTUSAN PENGHAPUSAN RSBI
Oleh
: Noor Rochman, S. Pd.*
“Berbicara tentang pendidikan, berarti kita
harus siap-siap untuk sakit hati, terjebak dalam lumpur kesedihan, dan
bersiap-siap menghadapi kemarahan diri sendiri”, mungkin ini adalah ungkapan
yang menggambarkan kekesalan kita terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang
carut-marut dan tidak berpihak kepada rakyat miskin seperti yang diungkapkan dalam
beberapa judul buku pendidikan sebagai berikut: Orang Miskin Dilarang Sekolah
karya Eko Presetyo, dan Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas. Kondisi yang
digambarkan dalam judul buku tersebut memang nyata terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia dimana pendidikan khususnya sekolah telah menciptakan kasta
antara kaum kaya lebih mendapat tempat dalam pendidikan karena kapitalismenya
dan kaum miskin yang terpinggirkan, serta output yang dihasilkan dalam
pendidikan semakin rusak moralnya karena hanya mengejar angka dengan cara-cara
yang tidak baik seperti yang terjadi dalam kasus UN, tawuran pelajar, dan serta
seks bebas. Sistem pendidikan yang
seharusnya menjadikan alat pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan
dan kebodohan kini semakin membelenggu masyarakat untuk keluar dari zona
tersebut sehingga timbul keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut.
Kondisi di
atas juga digambarkan oleh Ivan Illich
dalam buku Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah) tahun 1970 yang membuat
gagasan untuk membebaskan masyarakat dari dari belenggu sekolah ketika sistem
pendidikan di Amerika Latin menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya
lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan pendidikan bagi masyarakat dan
tidak berpihak pada masyarakat miskin. Menurut Ivan Illich (1970) sekolah harus
dihapuskan, dan ia yakin tujuan peniadaan sekolah dalam masyarakat akan
menjamin siswa dapat memperoleh kebebasan dalam belajar. Gagasan Illich untuk bebas
dari belenggu sekolah tersebut jika dikontekskan dalam sistem pendidikan di
Indonesia hampir serupa dengan semangat beberapa orang tua siswa dan masyarakat
yang tergabung dalam koalisi anti
komersialisasi pendidikan (KAKP) yang berusaha menggungat sekolah RSBI/SBI
(Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional) dengan
melakukan permohonan judicial review
pada pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti yang
kita ketahui, Program RSBI/SBI ini digugat oleh masyarakat karena dianggap
mendiskriminasi siswa yang miskin dan hanya diperuntukan untuk siswa-siswa yang
kaya. Kemudian pada tanggal 8 Januari 2013 kemarin Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan untuk menerima gugatan dengan menghapus pasal 50 ayat (3) yang
menjadi dasar menjamurnya RSBI. Penting sekali kiranya kita mengkaji putusan MK
tersebut karena kita bisa melihat masih ada semangat untuk membebaskan
pendidikan di tengah tekanan kapitalisme global.
Menggugat RSBI
Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) serta tahapan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) merupakan usaha pemerintah yang digadang-gadang mampu
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia serta mampu mensejajarkan sekolah di
Indonesia dengan sekolah-sekolah di negara lain. Dasar Hukum pelaksanaan SBI/RSBI adalah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Pasal 50 ayat (3), “Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
yang bertaraf internasional”. Sejak awal kemunculan RSBI tahun 2006 belum mampu
menunjukkan indikator perbaikan mutu pendidikan tetapi hanya menghasilkan
kritik terhadapnya mulai dari persoalan biaya yang tinggi yang muncul,
ketakutan akan tercerabutnya peserta didik dari akar sosial budaya Indonesia,
landasan hukum keberadaan SBI juga dipersoalkan. Pelaksanaan SBI/RSBI membawa
implikasi terhadap pengelolaan pendidikan/sekolah tersebut, namun aspek
tersebut masih perlu dibenahi. Triwiyanto, Teguh & Ahmad Yusuf Sobri (2010)
mengemukakan bahwa permasalah pengelolaan SBI/RSBI antara lain komodifikasi
dalam SBI, status akreditasi SBI yang mahal, kurikulum yang masih mencari porsi
idelal antara nasional dan internasional, proses pembelajaran SBI, penilaian
SBI yang masih banyak kendala, tenaga kependidikan SBI yang masih jauh dari
harapan, serta sarana prasarana yang masih sekedar penguatan citra sekolah.
Komodifikasi
merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu komoditi atau barang
untuk diperdagangkan demi mendapat keuntungan. Komodifikasi Pendidikan
merupakan akar persoalan ketidakadilan dalam SBI dan RSBI yang dirasakan
sebagian masyarakat karena menjadikan pendidikan sebagai barang yang
diperdagangkan dan diserahkan kepada pasar yang mampu membelinya dalam hal ini
adalah orang kaya yang mampu menjangkaunya. Dengan label internasional dan tata
kelola yang menghabiskan biaya tinggi dijadikan sebagai ajang komersil untuk
menarik pungutan sebanyak-banyaknya kepada orang tua murid dengan dalih
pemenuhan prasarana. Akibatnya siswa-siswa miskin secara otomatis tersisihkan
oleh sistem tersebut. Salah satu kekhawatiran komodifikasi pendidikan dapat
dilihat dengan tingginya biaya masuk yang dikeluhkan masyarakat luas. Majalah
Derap Guru Jawa Tengah (Edisi 127/Th. X/Agustus 2010) melaporkan bahwa di Kota
Semarang ada ketakutan orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya ke Sekolah
SBI/RSBI di Kota Semarang karena memasang biaya masuk hingga 4 juta bahkan
sampai 8 juta dan iuran bulanan Rp. 300.000,- sampai Rp. 750.000,- per siswa.
Sehingga wajar kalau RSBI dikatakan banyak pihak sebagai “Sekolah Berbiaya
Internasional”.
Biaya yang
harus ditanggung orang tua peserta didik ini memang menjadi permasalahan mengingat
semua sekolah RSBI mendapat kucuran bantuan dana dari pemerintah yang berbeda untuk
tiap jenjangnya, misalnya pada tahun 2010 bantuan untuk SD sebesar Rp. 200
juta, SMP sebesar Rp. 400 juta, dan SMA Rp. 500 juta. Belum lagi dana BOS per
tahun sebesar Rp. 500 juta per tahun. Memang, pengeluaran dalam RSBI tidak
sedikit dibanding sekolah lain, pertama kelengkapan sarana dan prasarana yang
berbasis ICT, kedua untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia-guru dan
tenaga pendidik-berupa beasiswa studi atau kursus lain, ketiga penerapan
kurikulum internasional dari Cambridge,
Inggris, yang mengharuskan membayar Commitment
Fee sebesar Rp. 24 juta pertahun. Namun, besaran iuran dan sumbangan yang
dibebankan kepada orang tua harus rasional dan mampu mengalokasikan sebagian
kuotanya untuk siswa kurang mampu. Jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan
kesempatan mengakses pendidikan bagi orang mampu dengan rakyat miskin dan
melahirkan sistem pendidikan yang tidak demokratis dan berkeadilan serta
diskriminatif. Akses pendidikan masyarakat kurang mampu akhirnya hanya terbatas
pada sekolah-sekolah dengan fasilitas seadanya di luar SBI, dan terancam
memiliki hasil pendidikan yang kurang mutunya.
Pengamat pendidikan
Darmaningtyas menilai SBI atau rintisan SBI adalah inkonstusional karena
melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Pasal tersebut mengamanatkan pemerintah
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, sedangkan sekolah berlabel
“internasional” berada diluar sistem pendidikan nasional yang diamanatkan dalam
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Namun, sepanjang UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat
(3) yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak
dihapus, sekolah-sekolah SBI/RSBI akan terus berkembang yang sampai saat in
jumlahnya sekitar 1300an di seluruh Indonesia. UU Sistem Pendidikan Nasional
dengan jelas menyebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan harus
demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Jika
keberadaan SBI/RSBI sendiri malah melahirkan sistem yang tidak demokratis dan
berkeadilan serta diskriminatif, maka dengan jelas menghianati UU Sistem
Pendidikan Nasional sendiri. Ini adalah ‘moral hazard’ yang membuat pemerintah
digugat karena telah mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan pendidikan yang
tidak diskriminatif.
Putusan MK
Kritik masyarakat
terhadap keberadaan sekolah berlabel internasional (SBI/RSBI) yang
ditindaklanjuti dengan mengajukan Judicial Review pasal 50 ayat (3) UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi dasar hukum
berdirinya SBI/RSBI akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam
putusan sidang nomor 5/PUU-X/2012 MK mengabulkan permohonan sejumlah orang tua
murid yakni Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria dan Milang Tauhida bersama
sejumlah aktivis pendidikan, yaitu Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo dan
Febri Antoni Arif. Amar putusannya adalah Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 50 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat; yang dibacakan pada Selasa (08/01/2013)
lalu. MK menilai Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas, yang menurut para
Pemohon dianggap: 1) Bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan
bangsa, 2) Bertentangan dengan kewajiban Negara mencerdaskan kehidupan bangsa,
3) Menimbulkan dualisme Sistem Pendidikan di Indonesia, 4) Bentuk baru
liberalisasi Pendidikan, 5) Menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam
pendidikan, 6) Menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa
Indonesia.
Pertimbangan
MK dalam menilai Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas bertentangan dengan
konstitusi sebagai berikut:
a. Pertama,
menurut Mahkamah Konsitusi satuan pendidikan bertaraf internasional
bertentangan dengan kewajiban negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD
1945 alenia keempat yang mewajibkan negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak
setiap warga negara memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas secara
adil, negara juga bertanggung jawab untuk membangun dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang berkarakter sesuai dengan dasar falsafah
negara.
b. Kedua,
Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan dualisme sistem pendidikan
karena memaksakan sekolah memenuhi dua standar/sistem pendidikan yakni standar
nasional pendidikan (SNP), dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang
berasal dari negara maju dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah
terakreditasi di negara anggota Organization
for Economic Co-Operation and Development (OECD) atau negara maju lainnya.
c. Ketiga,
Satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan
karena adanya peluang SBI/RSBI memungut biaya tambahan dari peserta didik baik
melalui atau tanpa melalui komite sekolah, sehingga anak-anak yang tidak mampu
secara ekonomi yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang
sangat terbatas, tidak mungkin untuk bersekolah di SBI/RSBI.
d. Keempat,
Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi
dalam bidang pendidikan karena adanya pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan
sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun
output pendidikan, dan akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah
tersebut termasuk terhadap siswanya.
e. Kelima,
Satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa
Indonesia yang berbahasa Indonesia karena penggunaan bahasa asing sebagai
bahasa pengantar pada RSBI dan SBI menekankan pada penguasaan bahasa asing
dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan sehingga kehebatan peserta didik
yang ditekankan tolok ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing.
Meskipun
demikian, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki memiliki pendapat yang berbeda,
putusan MK tersebut berdampak pada ketidakpastian hukum, karena Mahkamah Konstitusi
dalam berbagai keputusan sebelumnya telah menolak permohonan yang merupakan
kasus konkrit seperti dalam kasus gugatan RSBI ini adalah kasus-kasus konkrit,
bukan langsung mengenai konstitusionalitas. Menurutnya, apabila perkataan
“bertaraf internasional” dalam Pasal a quo dikatakan menimbulkan multi
interpretasi, sehingga dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum maka
solusinya bukan dengan cara membatalkan pasal tersebut, tetapi Mahkamah
memberikan penafsiran yang sesuai dengan konstitusi. Demikian juga Pasal 50
ayat (3) Undang-Undang a quo, jika dalam praktek didapati hal hal yang tidak
baik, maka yang diperbaiki prakteknya dan atau peraturan pelaksanaannya, bukan
membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang a quo, karena. yang didalilkan oleh
para Pemohon adalah kasus-kasus konkrit. Jika yang menimbulkan kastanisasi
peraturan pelaksanaannya atau kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan
di bawah Undang-Undang (misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri,
Peraturan Dirjen) maka wewenang pembatalannya berada pada Mahkamah Agung.
Terlepas dari
hal tersebut, kita harus mengapresiasi putusan MK tersebut, karena memang yang
bermasalah adalah Undang-Undangnya sehingga menghasilkan peraturan pelaksana
serta praktiknya yang bermasalah dan berakibat munculnya kasus-kasus
sebagaimana yang diajukan pemohon. Seberapa ngototnya pihak yang menolak
penghapusan pasal tersebut, tetap akan menghasilkan permasalahan karena antara
konseptual (Das Sollen) RSBI masih kacau balau, maka faktanya (Das Sein) pun
akan berbeda dari yang diharapkan. Putusan MK tentang RSBI ini merupakan
'judicial review' keempat terhadap Undang-undang Sisdiknas yang diajukan ke MK
dan keempatnya dikabulkan antara lain pasal 49 tentang anggaran pendidikan,
pasal 53 tentang Badan Hukum Publik dan pasal 55 tentang bantuan bagi sekolah
swasta. Putusan MK tentang penghapusan
RSBI membuktikan bahwa MK sebagai the
Guardian of Constitution (pelindung konstitusi) masih tetap menjaga
semangat dan ideologi pembebasan yakni dorongan untuk bebas dan merdeka yang
tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Demikian pula dalam hal pendidikan, MK
masih menilai dan memberikan sebuah semangat untuk menjadikan pendidikan
sebagai bagian dari proses pembebasan dan pemberdayaan untuk menghasilkan
manusia yang merdeka. Sehingga dalam putusan MK tersebut kita dapat melihat
masih adanya semangat untuk membebaskan pendidikan, dan kita sebagai warga
negara yang merdeka harus menjaga semangat pembebasan tersebut.
Pendidikan Pembebasan
Tanpa
bermaksud menilai keputusan MK, kita sebagai warga negara harus menghormati dan
menghargai keputusan tersebut karena keputusan tersebut sudah final. Dengan
dibatalkannya pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas maka seluruh kebijakan atau
peraturan yang didasarkan pada pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
tetap lagi, seperti ketentuan tentang SBI/RSBI dalam PP No. 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Permendiknas No. 78 tahun 2009
tentang Penyelenggaraan RSBI, dan kebijakan-kebijakan lain baik ditingkat
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Artinya keberadaan sekolah RSBI juga
berarti kehilangan legalitasnya dan kembali menjadi sekolah pada umumnya. Keputusan
tersebut harus kita sikapi dengan bijak, tanpa mengurangi semangat untuk tetap
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Semangat yang harus kita jaga adalah
semangat untuk membebaskan pendidikan sebagaimana telah diperlihatkan oleh beberapa orang tua murid, dan para aktivis
anti komersialisasi pendidikan, dan para hakim konstitusi yang berwibawa dalam
Mahkamah Konstitusi yang bersemangat untuk tetap menjadikan pendidikan sebagai
sebuah proses pembebasan. Semangat pendidikan pembebasan adalah semangat yang
harus tetap hidup pasca penghapusan RSBI.
Pendidikan
pembebasan adalah konsep untuk membebaskan kaum miskin dari kebodohan dan
ketertindasan. Menurut Darmaningtyas (2011) pendidikan pembebasan adalah
pendidikan bagi kaum miskin guna membaskan kaum miskin dan bodoh dari segala
ketertindasan. Pendidikan pembebasan menurutnya harus membuka peluang yang
terbuka bagi anak-anak miskin dan bodoh untuk bersekolah, tanpa ada yang
mengkotak-kotakan. Lebih lanjut, dalam paradigma pendidikan pembebasan Paulo
Freire terungkap bahwa pendidikan dan dimensi pembebasan adalah bebas dalam
menentukan jalan hidup, bebas dari budaya otoriter yang mendikte, bebas dari
budaya verbal yang naif. Sistem dan orientasi Pendidikan yang diusulkan Paulo
Freire mengarah pada tercapainya independensi manusia seutuhnya, yakni
berkesadaran, berdiri sendiri, dan bebas berkehendak dalam menentukan garis
jalan hidupnya (proses humanisasi), pendidikan merupakan proses tanpa henti dan
berorientasi pada pembebasan manusia seutuhnya dari belenggu otoriter dan dominasi
yang mendikte (hegemoni), serta pendidikan yang membebaskan manusia dari
kungkungan metode pendidikan yang serba mekanis dan verbalistik. Sedangkan paradigma
pendidikan pembebasan dalam pendidikan islam lebih mengutamakan pada bebas dari
kebodohan dan pembodohan (Umiarso & Zamroni, 2011). Kebodohan lahir atau
ada setidaknya bisa diidentifikasikan dari tiga hal, ketiadaan ilmu
pengetahuan, kesalahan terhadap suatu keyakinan, kesengajaan dalam berpihak.
Kebodohan merupakan cammon enemy (musuh
bersama), tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga umat agama lainnya karena
hal ini menyangkut upaya pemenuhan eksistensi manusia dari sekian potensi yang
dimiliki. Karena bagaimanapun, manusia sebagai mandataris Tuhan memiliki
potensi akal, yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diperoleh.
Gagasan
pendidikan yang membebaskan semestinya menjadi harapan kita untuk membebaskan
kaum miskin dari ketertindasan setelah dihapusnya RSBI, namun hal ini akan
sulit dicapai manakala sistem pendidikan dan kebijakan kita masih sangat tidak
adil dan tidak memihak kepada orang-orang miskin. Perubahan sistem atau
kebijakan yang tidak adil itu hanya mungkin terjadi jika melalui gerakan yang
massif secara kolektif, bersama dengan seluruh stakeholder (guru, murid, orang tua, swasta, LSM, ormas, dan
parpol). Oleh karena itu, pendidikan yang membebaskan harus menjadi semangat
kita bersama, untuk melakukan perubahan sistem pendidikan yang besar dan bisa
memperjuangkan anak-anak miskin untuk memperoleh hak-hak pendidikan secara
layak. Sehingga di masa yang akan datang tidak akan ada lagi sekolah-sekolah
yang digugat karena alasan menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam
bidang pendidikan seperti SBI/RSBI. Melalui semangat pendidikan yang
membebaskan diharapkan dapat melahirkan sistem pendidikan yang menjadi alat
pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan.
Referensi
Darmaningtyas. 2011. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta:
LKiS.
Ivan Illich. 1970. Deschooling
Society. http://ournature.org/~novembre/illich/1970_deschooling.html
diakses pada tanggal 4 Februari 2013.
Triwiyanto, Teguh dan Ahmad Yusuf Sobri. Panduan Mengelola Sekolah Bertaraf Internasional. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan
Pembebasan dalam Perspektif Barat & Timur. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 perkara
Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ diakses pada tanggal 9
Februari 2013.
Majalah Derap Guru
Jawa Tengah, Edisi 127/Th. X/Agustus 2010
*Noor Rochman, S. Pd., Staff Bidang Wacana HMI
(MPO) Cabang Semarang, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS UNNES
Semester II.